Darah Hitam

Matanya yang nyalang tak percaya pada ucapan. Ia tak bisa memahami hakikat kata yang aneh dan mustahil. Ia tak dapat menelan kebisuannya. Waktu tujuh tahun yang lilin-lilinnya ia padamkan sejak beberapa bulan lalu tak pernah mau menerima air mata mereka. Ia bertanya pada ibunya, yang ketika itu sedang mengatur tempat tidurnya:”Apakah mereka tidur?” Ibunya hanya tersenyum, sekalipun ia sebenarnya terperanjat lalu ia bertanya sambil meneruskan pekerjaannya. ”Kamu berbicara apa?”

”Apakah orang-orang Yahudi membunuh mereka ketika mereka sedang terlelap?”Rona wajah ibunya berubah dalam sekejap, dan dalam keadaan sesak ia berkata:”Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Amru!”

Amru pun berteriak marah:”Ibu selalu berkata bahwa saya harus menjaga kebersihan pakaian. Ibu juga selalu melarang saya jangan memukul orang lain. Selalu begitu.” Dan tangisnya meledak. Seketika ibunya terhenyak. Betulkah ia ini Amru? Bocah yang kalem itu, inikah anaknya? Inilah pertama kalinya ia melihat anaknya bagai badai yang menerpa ranting-ranting kering. Ya Rabbi, bagaimana bocah-bocah bisa menjadi besar dan dewasa dalam usia semuda ini?

Ia menatap nanap wajah anaknya. Anak itu agak menakutkannya. Namun segera ia mengembalikan kenangannya. Lalu tiba-tiba ia berkata lagi:”Mereka melakukan semua yang ibu larang saya melaukannya, dan semua orang mengatakan dirinya pahlawan. Kini saya ingin menjadi pahlawan.”

”Kamu sekarang sudah pahlawan. Buktinya, kamu bisa mengalahkan teman-temanmu di sekolah.”

”Saya mau melontarkan batu seperti mereka. Percayalah, sekarang saya sudah kuat.”

”Lantas, kamu mau melempar siapa?”

Secercah harapan memancar seketika dari matanya ketika sambil meletakkan tas sekolahnya ia berkata dengan yakin:”Orang Yahudi.”

”Disini tidak ada orang Yahudi.”

”Lalu dimana mereka?” Di Palestina.” ”Jauhkah Palestina dari rumah kita?”

Ibunya tersenyum, tapi sekali ini senyumannya tampak getir. Ia pun terduduk di atas ranjangnya dan berkata:”Tidak terlalu jauh.”

”Kalau begitu, berangkat saja kita semua kesana?”

”Tak bisa.”

”Begini saja, Bu. Kakek kita tetap tinggal disini, dan kita berangkat pakai mobil Bapak, pasti muat.”

”Orang Yahudi pasti tidak akan mengijinkan kita masuk kesana.”

Ia mendekati ibunya dan berkata dengan dada yang sesak, sekalipun harapan masih tampak dalam sinar matanya:”Saya benci orangYahudi, mengapa harus minta izin pada mereka?” Ditatapnya wajah anaknya dekat-dekat. Dan ia menemukan air matanya sendiri sedang berkaca-kaca dalam tatapan anaknya. (”Kau benar, Nak. Mengapa kita harus selalu menunggu? Mengapa kita membiarkan mereka memukul kita dan kita menahankan rasa sakitnya? Mengapa setelah ada izin mereka baru kita bertindak?”)

Dengan kedua lengannya ia mendekap anaknya. Ia kemudian membisikkan beberapa patah kata untuk mematikan perasaan dalam diri anaknya, smentara ia mengira dia sendiri telah melupakannya. ”Ibu juga membenci orang Yahudi, Amru. Tetapi lupakan saja mereka, lebih baik kita memikirkan apa yang akan kita lakukan hari ini.”

”Apakah kita akan membiarkan mereka membunuh anak-anak?” ”Mereka tidak akan membunuhnya”. Tiba-tiba Amru berteriak parau, sementara air mata menggenang di pelupuk matanya. ”Saya melihat mereka membunuh anak-anak di televisi.”

Ibunya tampak merasa bersalah. Ia mencela dirinya:”Semestinya saya tidak membiarkan kamu menyaksikan acara itu,”katanya pada dirinya sendiri. Ia pun memungut tas anaknya yang tergeletak di lantai, lalu ia berkata dengan nada agak mengancam:”Sudahlah, nanti kamu terlambat sampai di sekolah.”

Amru kemudian mengambil tasnya sambil keluar kamar. Tapi belum jauh melangkah, tiba-tiba ia berpaling kembali pada ibunya.”Bapak guru bilang, anak-anak itu tidak pergi ke sekolah. Orang Yahudi menutup sekolah-sekolah dan membunuh anak-anak, bukan begitu, Bu?” Ia mendekati ibunya. Seketika nada kalimatnya berubah, suaranya mengiba dan penuh harap: ”Coba kalau Bapak pergi kesana dan membunuh orang-orang Yahudi itu, lalu mengusir mereka. Bu, tolong katakan pada Bapak begitu, ya. Pokoknya Amru berjanji akan menjadi dokter.”

Potongan-potongan kecil kata-kata itu membatu di matanya. Ia pun mendekap anaknya penuh rasa cemas, lalu berkata:”Jangan khawatir, Amru! Disini tak ada orang Yahudi, tidak ada senjata. Pokoknya tak ada orang yang akan mengganggu anak kecil seperti kamu.”

Secepat kilat Amru menarik badannya dari dekapan ibunya. Sambil mengangkat tasnya, ia berkata dengan marah: ”Saya bukan anak kecil lagi, saya bukan pengecut.”

Ia berangkat ke sekolah dan bermain bersama teman-temannya di halaman sekolah. Permainan baru. Bukan mereka yang memilihnya, tapi permainan itulah yang memilih mereka: permainan tentang orang Yahudi dan bocah-bocah pelempar batu. Pada mulanya tak ada yang sudi memerankan orang Yahudi. Akhirnya mereka memutuskan, siapa yang salah membaca surat al-Fatihah, dialah yang akan memerankan orang Yahudi. Tapi tak ada seorang pun salah bacaannya. Akhirnya mereka pun memilih surat-surat lain dan berlomba menghafalnya.

”Orang Yahudi membunuh anak-anak. Allah suka sama anak-anak, kita cinta pada Allah dan benci pada orang Yahudi.” Itulah kata yang diucapkan Amru kepada gurunya, yang hanya bisa berdiri termangu sambil menatap wajah muridnya.

(Mereka mengira telah membabat habis manusia-manusia itu sampai ke akar-akarnya. Tetapi anak-anak justru membuktikan betapa kuatnya akar mereka tertancap ke bumi. Mereka membunuh anak-anak Palestina untuk menciptakan dari tubuh-tubuhnya mata-mata kecil yang menatap tajam kuburannya sendiri.)

Mata gurunya seperti hendak mengatakan:”Kini mereka mulai menggali kuburannya sendiri, kuburan mereka ada di sini, di kedua bola matamu. Andaikata kamu dapat memahami si pembangkang yang kini ada dalam kedua tanganmu yang mungil! Ayo Amru, jadilah engkau batu yang menghantam mereka dari jauh, biarkan mereka mendengarkan teriakanmu. Kamu lebih kuat dari mereka, Amru. Kamu mencintai Allah, dan Allah membenci mereka.”

Malam itu semua orang sudah berada di pembaringan masing-masing. Hanya Amru yang masih duduk di samping bapaknya. Tidak lama kemudian, ibunya datang menegurnya setelah sebelumnya ia berjanji membolehkannya menonton siaran berita di televisi, apa pun resikonya:”Sekarang waktu tidur.”

Amru merasakan ada nada keras dan ngotot dalam ucapan itu. Ia pun berdiri dan berjalan tenang menuju kamar tidur. Sesaat ibunya agak bingung melihat reaksi anaknya. Biasanya ia selalu mengiba kalau menginginkan sesuatu. Tapi sekali ini ia memutuskan memenangkan kemauannya.

Senandung musik yang sangat sentimental menarik perhatian Amru. Ia pun bangun dan merangkak dengan tenang, perlahan-lahan, untuk menyaksikan acara di televisi dari kejauhan. Semua kata yang rumit, dan gambar-gambar, tidak dapat dipahaminya. Baginya itu hanyalah saat kita menunggu datangnya badai.

Perlahan monitor kecil itu membesar di matanya. Membesar dan membesar lagi, tampak seperti raksasa-raksasa, ya serdadu-serdadu itu! Persis seperti yang ada dalam dongeng yang sering diceritakan kakek padanya, sepatu mereka, kepala mereka, dan semua peralatan berat yang mereka sandang.

Sepatu-sepatu mereka, bahkan tangan-tangan mereka, setiap bagian dari semuanya turut mengejar bocah kecil itu. Dan Amru mendengar lolongannya dari kejauhan. Detak jantungnya seperti mengikuti langkah-langkah si bocah. Mereka makin mendekati bocah itu, makin dekat, dan makin dekat, dan akhirnya mereka dapat menangkapnya. Sebuah suara kecil melolong di mata Amru: ”Pak, selamatkan dia, Bapak! Jangan biarkan mereka membunuhnya, Pak!”

Sebuah patung kecil tiba-tiba memajangkan dirinya ke arah Amru. Ia mengambil dan melemparkannya dari kejauhan sambil berteriak sekeras-kerasnya,”Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!”

Dan tangisnya pun meledak, sementara monitor televisi raksasa itu berubah dalam sekejap menjadi puing-puing yang berserakan di kamar. Semua berlangsung dalam kebisuan, hanya teriakan ibunya yang kemudian mengubah kekagetan bapaknya menjadi ketakutan yang sesungguhnya.

Aliran listrik pun putus, lampu-lampu padam, seketika rumah menjadi gelap. Bapaknya berteriak sambil mencarinya dalam kegelapan:”Amru! Amru!”

Dari dalam kegelapan Amru berseru:”Saya telah membunuhnya. Bapak sudah lihat’kan? Saya bisa membunuhnya’kan? Darah hitam mereka kini membanjiri rumah kita. Orang Yahudi darahnya hitam, Pak!”

Bapaknya mendekapnya dengan kuat, sementara Amru masih terus mengulang-ulang ucapannya: (Orang Yahudi darahnya hitam! Darahnya hitam! Hitam! Hitam!)

sumber:
Jihad al-Rajbi. Li Man Tahtamil al-Rashshah. Filistin Muslimah, 1993. Terjemahan Anis Matta. Penerbit: Pustaka Firdaus dan Yayasan Sidik, 1995.



Bagi Rapor, si Juara Umum dan Juara Semangat



Hari ini pembagian rapor ka Alifya dan Aqeela. So, pagi-pagi jam 8 mama dah sampe sekolah kakak, SDIT Rahmaniyah. Untunglah sekolah kaka dan TKnya Aqeela deketan, jadi ga repot2 bangets. Mama dapat urutan ke-2, setelah mamanya...yah lupa, sapa ya? Yawda skip ajah, sekarang dah giliran mama nih. "Selamat ya mama, Alifya subhanallah cerdas dan semester ini prestasinya baik sekali. Alifya juara umum level 2 mama, peringkat 1 dari seluruh kelas di level 2." Alhamdulillah, pantesan kaka pede banget sering bilang,"ma, kayaknya kaka semester ini juara umum deh". Anyway, insyaAllah Alifya dapat hadiah dan penghargaan tapi akan diserahkan nanti setelah masuk di depan teman-teman, begitu kata bu guru. Jazakillah bu guru Holilah dan Nurhayati, atas kesabaran ibu membimbing kaka. Mudah-mudahan dengan prestasi ini kaka jadi tambah semangat dan rajin sholat yah. Senantiasa ingat dan bersyukur pada Allah yang sudah memberi kecerdasan pada Alifya. Dan teteup, kudu rajin mandi. We love you...

Saatnya ambil rapor Aqeela. Wah, mama penasaran nih sama rapornya Qeela. Maklum, beberapa bulan di sekolah Qeela masih cuek aja. Sibuk sendiri di kelas, pilih-pilih teman (kurang easy going), dan motorik kasar en halusnya kurang cepat terasah. Males2an siy. Malah sempat mogok ga semangat sekolah. Cape, katanya. Sampai2 mama minta di home visit sama bu Rita. Nah, setelah itu alhamdulillah Qeela lebih termotivasi bersekolah. Di kelas pun sudah lebih supel dan sangat ko-operatif. Baru deh keliatan aktifnya. Yaeyalah, asalnya kan emang cerdas dan aktif. So, rapor Aqeela juga memuaskan. Rata-rata 'berkembang sesuai harapan' atau nilainya antara A dan B. Dan Qeela pun dapet juara semangat! We love you...


Mama bangga dengan anak-anak mama. So, semua dapet oleh-oleh jus buah segar. Dan mainan puzzle 3 dimensi menyusun/merakit Dino dan Kastil. Plus buku Ibuku-Ayahku Pahlawanku bilingual. Liburannya nunggu kabar dari papa yaaa. Selesai ambil rapor, mampir dulu ke rumah trus ke kantor deh. Masih ada pe-er Laporan Pencapaian Sasaran Mutu buat Lokakarya Mutu tanggal 30-31 Desember. Hehe maaf ya Koord. lokakarya, kudunya disubmit kemarin nih, badan mama pegel2 semua lembur terus karena sistem akuntansinya belum sesuai keinginan, so...sering ketiduran sampe rumah. Semangat gede tenaga kurang, mana moody lagi. Ono-ono wae, ojo sakarepmu dong Ma (berhadiah senyum bagi yang tau artinya).

Eh, saat mama siap-siap ngerjain pe-er, Papa telpon. Tanya ini-itu tentang rapor anak-anak, trus dengan entengnya bilang," wah, pinter banget ya Kaka mirip banget sama aku ya" Yee kasian deh Papa, matematika aja ga ahli ngaku-ngaku pinter kayak kaka. Kalo soal cerdas mah, tentyu menurun dari mama...narsis dot com bole kan? Tapi biarlah supaya Papa senang, biar tambah semangat menjemput rejeki!




Satu Episode Kehidupan Muslimah Biasa

Ia adalah sesosok muslimah biasa. Jalan hidupnya pun biasa-biasa saja. KeMahaBesaran Allah jua yang menjadikannya senantiasa dilimpahi nikmat dan kemudahan dalam hidupnya. Ia bukanlah muslimah yang pintar, namun lagi-lagi Allah memudahkannya dapat mengecap pendidikan sejak TK hingga Pascasarjana, semuanya di institusi pendidikan yang cukup bergengsi di Indonesia dan lulus dengan tidak mengecewakan. Berbekal pendidikan itu pula ia memperoleh pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang cukup besar dalam industri jasa keuangan. Dan sudah pasti karena Rahman-nya Allah setiap pekerjaan ia peroleh dengan cara yang mudah, layaknya keberuntungan saja.

Tak cuma pekerjaan, bahkan ihwal jodoh sang muslimah didapatkan melalui jalan yang sederhana dan tidak rumit. Permintaan ta’aruf, istikhoroh, beberapa pertemuan dikawal tim sukses dari pihak sang muslim yang berlanjut khitbah dan walimatul ’ursyi. Mengingati perjalanan jodoh tersebut laiknya kisah dalam sinetron saja yang dilalui muslimah ini. Ah, andai ia diberi kesempatan dan kemampuan, mungkin akan dituangkannya dalam bentuk cerpen cinta berbingkai keindahan cinta-Nya. Seorang suami yang hanif insyaAllah cocok untuk menjadi imam yang setia pula menjadi teman belajar dalam menata keluarga samara. Amiin Allahumma amiin, demikian muslimah mengaminkan kalimat diatas. Kisah muslimah dengan sang imam kemudian adalah kisah luarbiasa seiring turunnya karunia dan amanah kunci surga berupa bidadari-bidadari yang dikirim bagi mereka dari taman surga.

Dengan limpahan nikmat yang dikaruniakan Allah padanya, ia merasa syukurnya belum seberapa. Masih banyak yang harus ditunaikan untuk mensyukuri segala nikmat tersebut. Selama ini baru sebatas syukur jangka pendek yang diwujudkannya. Jauh dilubuk hati muslimah biasa terbetik keinginan untuk mewujudkan syukur jangka panjang, sepanjang hayat di kandung badan. Namun tak seorang manusia pun yang tahu panjang pendek sisa umurnya bukan? Sehingga muslimah memaknainya sebagai syukur yang kontinyu, tanpa lelah dan pamrih, karena Sang Maha Kaya dan Perkasa pun tak pernah pamrih akan kasih-Nya.

Kiranya bentuk syukur sederhana terurai berikut yang menjadi pengharapan sang muslimah. Karena sadar bahwa kapasitas keilmuan dunia apalagi akhiratnya bukanlah apa-apa jika Yang Maha Pemberi Ilmu tidak mengijinkannya mengetahui melainkan sedikit, maka yang bukan apa-apa itulah yang akan dibagikannya secara cuma-cuma kepada sesiapa yang memerlukan. Selain itu, rupanya kekaguman sang muslimah kepada Ummul Mukminin Khadijah al Kubra, membuatnya berharap ia dapat meniti jalan yang sama yang dilalui beliau. Kenangan terindah, itulah Khadijah, sebagaimana sabda suaminya tercinta, Rasulullah:....Ia beriman padaku ketika semua manusia ingkar. Ia membenarkanku ketika seluruh manusia mendustakan. Ia membantuku dengan hartanya ketika semua manusia menahan harta mereka...” (HR Ahmad).

Betapa ingin sang muslimah menjadi kenangan terindah disisi keluarganya bahkan teman dan siapa pun yang mengenalnya. Terbayang seandainya ia dapat berbagi apa yang diamanahkan padanya saat ini, ilmu-harta-tenaga-waktu tanpa berkalkulasi konsekuensinya. Ilmu tentu takkan habis meski dibagi-bagi kepada sebanyak-banyak manusia, dan ilmu harus tetap dipelajari karena sesungguhnya sebanyak-banyak ilmu yang diketahui manusia hanya sedikit. Muslimah berandai ia berani mengambil tantangan menyemai majelis-majelis dzikir dan ilmu, mengkaji ayat-ayat qauniyah dan qauliyah bersama sesama manusia disekitarnya.

Dan bersedekah, muslimah yakin sedekah akan melunturkan dosa dan khilaf yang diperbuatnya sebagai anak, istri, ibu dan manusia biasa. Muslimah biasa tidak memungkiri bahwa dunia ibarat air laut, hanya menambah dahaga. Sementara membagikan nikmat kepada yang lebih berhak ibarat memberi seteguk air pelepas dahaga bagi musafir, pastilah menimbulkan efek balik kenikmatan yang lebih. Dan bukanlah efek balik yang diharapkan sang muslimah, insyaAllah, menjumpai prosesnya saja adalah sebuah nikmat dan pencapaian yang besar atas pengharapannya.

Terkesan akan kecintaan Rasulullah pada anak yatim dan dhuafa, sang muslimah pun menginginkan yatim dan dhuafa sebagai karibnya. Alangkah damainya jika yatim dan dhuafa memiliki saudara bercerita dan berempati sehingga dunia menjadi ladang garapan bersama yang siap ditanami bibit amal saleh dan ibadah sebagai bekal akhirat kita sebagai manusia, demikian asa muslimah biasa. Dan hari-hari muslimah biasa selanjutnya adalah usaha dan do’a, agar Allah Penguasa Semesta meridhoi saat hidup dan matinya.

Shaf

Tengah kudirikan raka’at demi raka’at yang kian hari
terasa menghampa
ketika gerimis itu menderas
hati tersiram basah hidayah-Mu,
terdesak kerinduan akan cinta-Mu

Duhai, Zat yang Maha
Jangan biarkan hamba menjadi
sebutir garam
di samudera kehidupan
Tak berarti apa-apa

Entah gundah apalagi yang kan menjumpa esok
Masih tangan ini berusaha menyusun
Shaf demi shaf
memperjuangkan sebuah jalan
sementara anak sungai
membelah pipi
menyapu kotoran hati
Seijin-Mu ya Al Ghoffar
terpacu selaraskan getaran hati
dengan melodi tasbih jagad raya

Tertatih menapaki jalan mendaki
nuju singgasana benderang-Mu
saat mengata, melihat, mendengar, mencium dan
merasa
keMaha-an-Mu.

Jakarta, 1995. Catatan saku seorang mhs feui.

Selamat Hari Ibu, I Love You All SuperMoms


Pinjam gbr. dari www.omahaballoon.com