Kisah Cinta RasuluLlah dan Siti Khadijah

Assalamu'alaykum all...
Duh blog ini terbengkalai banged yach...almost a year gada posting, gada kisah mama Echa. Kemana aja Mam? ^_^ nyengir kuda, iya yah setahun belakangan ini masa transisi dan pindahan, ya pindah status...pindah rumah...hijrah gitulah, semoga kepindahan dan perubahan menjadi yang lebih baik,, amiin. Memulai aktif posting ini mama Echa ingin ngomongin cinta aja deh, karena bicara cinta selalu menyenangkan...mencerahkan. Apalagi kami sedang dapet anugrah Cinta yang mungil, imut, ganteng dan punya titit hehehe apaan sih maksudnya? iya bulan Desember kemarin mama Echa melahirkan (lagi) bayi mungil dan alhamdulillah sesuatu banget karena akhirnya dipercaya dengan amanah membesarkan calon mujahid yang gagah perkasa, smart dan tentu saja guanteng kayak papanya (cieee seneng tuh Papa Rudi dibilang ganteng)...a baby boy, finally. 
Cukup dulu bahas cinta yg itu...sekarang mari disimak kisah cinta sejati berikut: (maaf yah mama lupa copas kisah ini darimana yg jelas ini hasil copas yah, kalo penulis asli mampir sini silahkan dicantumkan langsung deeeh)

Cinta sejati dan kesetiaan mencintai diukur setelah perkawinan, bahkan lebih terbukti setelah kepergian yang dicintai. Kendati Nabi Muhammad saw. sangat mencintai Aisyah ra., namun cinta beliau kepada Siti Khadijah ra. pada hakekatnya melebihi cintanya beliau kepada Aisyah ra., bahkan cinta itu melebihi semua cinta yang dikenal umat manusia terhadap lawan jenisnya. Sementara hikayat tentang cinta, seperti Romeo dan Juliet, Lailah dan Majnun, tidak teruji melalui kehidupan bersama mereka sebagai suami istri. Karena itu, sekali lagi dikatakan bahwa cinta Rasulullah saw. Kepada Khadijah ra. Adalah puncak cinta yang diperankan oleh seorang laki-laki kepada perempuan dan sebaliknya.
Sangat besar rasa cinta Rasulullah kepada Khadijah, sampai-sampai Aisyah mengatakan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, “Tidak pernah aku merasa cemburu kepada seorang pun dari istri-istri Rasulullah seperti kecemburuanku terhadap Khadijah. Padahal aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Rasulullah seringkali menyebut-nyebutnya. Jika ia memotong seekor kambing, ia potong-potong dagingnya, dan mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah.
Maka aku pun berkata kepadanya, “Sepertinya tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khadijah…!”
Maka berkatalah Rasulullah, “Ya, begitulah ia, dan darinyalah aku mendapatkan anak.”
Dalam suatu riwayat dikisahkan, suatu saat Aisyah merasa cemburu, lalu berkata, “Bukankah ia (Khadijah) hanya seorang wanita tua dan Allah telah memberi gantinya untukmu yang lebih baik darinya? (maksud Aisyah yang menggatikan Khadijah adalah dirinya). Maka Belaiu pun marah sampai berguncang rambut depannya. Lalu Beliau bersabda, “Demi Allah! Ia tidak memberikan ganti untukku yang lebih baik darinya. Khadijah telah beriman kepadaku ketika orang-orang masih kufur, ia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, ia memberikan hartanya kepadaku ketika manusia lain tidak mau memberiku, dan Allah memberikan kepadu anak darinya dan tidak memberiku anak dari yang lain.”
Maka aku berkata dalam hati,” Demi Allah, aku tidak akan lagi menyebut Khadijah dengan sesuatu yang buruk selama-lamanya.”
Ketika Aisyah ingin menampakkan kelebihannya atas Khadijah, ia berkata kepada Fatimah ra., putri Nabi dari Khadijah ra.: “Aku gadis ketika dinikahi ayahmu sedang ibumu adalah janda ketika dinikahi ayahmu.” Rasul saw. Yang mendengar ucapan ini dari putrinya yang mengeluh bersabda: “Sampaikanlah kepadanya ‘Ibuku (maksudnya Khadijah ra) lebih hebat dari engkau, beliau menikahi ayahku yang jejaka, sedang engkau menikahinya saat beliau duda.”
Disamping itu Rasulullah tidak memadu Khadijah dengan wanita lain, sedang semua istri selainnya dimadu.
Teman-teman Khadiijah pun masih diingat oleh Rasul dan berpesan kepada putri-putri beliau agar terus menjalin hubungan kasih dengan mengirimkan hadiah-walau sederhana- kepada mereka.
Ketika Fath Makkah, yakni hari keberhasilan rasul saw memasuki kota Mekkah bersama kaum Muslim, beliau berkunjung ke lokasi rumah Khadijah ra., karena rumah itu sendiri telah tiada. Beliau juga-pada hari itu- menyendiri, di tengah kesibukan bersama pasukan kaum Muslim, dengan seorang wanita tua sambil bercakap-cakap dengan wajah berseri-seri. Aisyah ra yang melihat hal tersebut bertanya:”Siapa orang itu dan apa yang dibicarakannya?” Ternyata wanita tua itu sobat karib Khadijah ra dan pembicaraan Nabi saw dengannya berkisar pada kenangan manis masa lalu.
Gerak langkah suara dan ketukan pintu yang biasa dilakukan Khadijah ra pun terus segar dalam benak dan pikiran beliau. Suatu ketika beliau mendengar ketukan dan suara serupa. Beliau berkomentar:”Ini cara ketukan Khadijah. Saya duga yang dating adalah Hala (saudara perempuan Khadijah ra.) dan ternyata dugaan beliau benar.
Demikianlah keagungan cinta Rasulullah swa. kepada Khadijah ra. Yang akan tetap terukir indah sepajang zaman.

Please Deh, Jangan Ada Dusta Diantara Kita

Menyimak isi media di negeri kita beberapa pekan belakangan ini yang melulu soal pembohongan publik oleh pemerintah, saya jadi gatal ingin ikutan berpendapat (curhat, tepatnya). Pernyataan tentang kebohongan pemerintah tersebut dikeluarkan oleh para pemuka agama yang merasa gerah oleh pemberitaan selama ini tentang dinamika ekonomi, politik, hukum dan sosial di negeri ini. Tentang pencapaian target ekonomi yang digembar-gemborkan pemerintah meski kenyataannya bagi orang yang melek ekonomi pencapaian tersebut tidak dapat dijadikan simpulan. Salah satu contohnya, menggunakan angka pendapatan per kapita yang tidak menggambarkan kesejahteraan negara yang sesungguhnya. Mungkin teman-teman yang kuliah ekonomi masih ingat mata kuliah statistik, atau tentang prinsip Pareto, kemudian coba deh dipakai untuk mendeskripsikan distribusi pendapatan (khususnya di negara kita ini aja). Lalu coba jelaskan alasan mengapa angka pendapatan per kapita yang dinyatakan sebesar 2,700 dollar tahun ini jadi semacam data statistik yang mengelabui.

Tapi tunggu dulu (jangan asal nuduh pemerintah berdusta lah), ada indikator ekonomi lain yang disuguhkan yaitu tingkat kemiskinan menurun menjadi 13.5% dari 16,6% (menurut data BPS). Masih menurut data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga Triwulan III 2010 telah mencapai 5,8% dari prediksi pertumbuhan tahun 2010 yang mencapai 6%. Meskipun demikian, hal ini tidak lantas berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat karena kenyataannya rakyat merasa saat ini pekerjaan justru semakin sulit didapat, sehingga angka pengangguran makin tinggi dan orang miskin makin banyak. Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tidak menyerap angkatan kerja atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan ekonomi maka yang muncul kemudian adalah semakin dalamnya jurang perbedaan pendapatan (kesenjangan sosial). Apakah pemerintah sekedar ingin menghibur rakyat dengan ‘rapor’ indikator ekonomi yang bagus meski kenyataan berkata sebaliknya? Rakyat tidak butuh ‘nyanyian’, rakyat butuh perhatian. Ditambah lagi kasus Gayus yang ‘jayus’ banged dan menghebohkan dengan sepak terjangnya yang mencoreng wajah hukum dan perpajakan kita yang asalnya sudah cukup ‘butek’. Kasus yang kental aroma politik (politisasi) ini sedikit demi sedikit menguak ketidakjujuran pemerintah dan (oknum) aparatur pemerintahan. Apalagi sebelumnya ada kasus century, Antasari, dan sederet kasus lain yang penyelesaiannya (sudah selesai belum sih, atau ‘diselesaikan’?) belum jelas.

Entah siapa yang suka berdusta dan mengorbankan kebenaran demi kepentingannya sendiri. Hal-hal diatas bisa jadi hanyalah puncak yang terlihat, dari gunung es masalah-masalah yang sebenarnya ada. Dan pemerintah yang dinilai tahu atau seharusnya tahu mengenai permasalahan yang ada malah bermain drama dengan kebohongan demi pencitraan. Padahal perilaku bohong adalah fenomena terburuk menurut pandangan agama mana pun. Oleh karena itu, para pemuka agama memandang perlu turun gunung dan menegur pemerintah agar jujur dan terus terang terhadap rakyat dan memperhatikan permasalahan yang ada. Jangan sampai rakyat yang terbohongi marah atau yang justru paling membahayakan adalah rakyat menjadi apatis, tidak percaya pada pemerintah (pemimpin) apalagi jika pembohongan itu sudah sistemik maka bukan tidak mungkin rakyat menganggap perilaku bohong merupakan hal biasa. Bukhari Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Amr Al-Ash r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda: “Ada empat sifat yang bila dimiliki maka pemiliknya adalah munafik. Dan barang siapa yang memiliki salah satu di antara empat sifat tersebut, itu berarti ia telah menyimpan satu tabiat munafik sampai ia tinggalkan. Yaitu apabila berbicara ia berbohong, apabila bersepakat ia berkhianat, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila bertikai ia berbuat curang.” (HR. Muslim).

Jika pemerintah sudah dianggap kerap berdusta, maka kepada siapa rakyat bisa menaruh kepercayaan? Kebohongan itu ibarat jamur di musim hujan. Cepat bertumbuh, karena satu kebohongan terpaksa harus ditutupi dengan bohong yang lain, terus begitu tak berkesudahan hingga kebenaran muncul. Tentu rakyat tidak ingin dipimpin oleh pemerintahan yang munafik. Untuk itu, maka sudahilah kebohongan yang ada. Evaluasi diri dan fokus saja mengurus rakyat dengan baik, memimpin rakyat dengan teladan yang baik, edukasi rakyat dengan jujur, jangan rakyat yang hidupnya sudah susah masih dibohongi juga. Setelah itu, boleh juga lah sekali-kali bernyanyi lagunya om Broeri-tante Dewi Yull…..jangan ada dusta diantara kita.

PNS : Sebuah Status Seribu Kisah

Entah harus mulai dari mana kisah ini, sepertinya kami sedang membaca buku kehidupan kami pada bab sekian halaman sekian dan tiba-tiba disinilah kami, di awal bab baru kehidupan yang beberapa bulan ke depan akan kami jalani. Berawal dari sini dan keinginan suami sejak tahun 2008 untuk memboyong kami kembali ke daerah asalnya dan berkiprah di sana atau disana lalu beliau dengan antusias menyiapkan dan mensubmit dokumen yang dipersyaratkan setelah sebelumnya aku diminta untuk registrasi online agar dapat kartu verifikasi dan terdaftar sebagai peserta tes CPNS. Lalu aku dipanggil tes tertulis (tes I / Tes Kemampuan Dasar dan Psikotes Tertulis), lalu lulus tahap I ikut lagi tes wawancara (tes II / wawancara bidang keilmuan masing-masing dan psikotes lisan) dan lulus lagi barulah ikut tes kesehatan dan sehat jasmani rohani.

Loh, mau jadi PNS ya? Eng...engga sih, dari dulu tak berminat. Apalagi sekarang karena dari segi waktu (umur) aku yo wis rugi. Sudah terpakai 12 tahun untuk berkiprah di swasta dan kalo mulainya sejak lulus mungkin sudah di golongan IIId ya sekarang (piye ngitunge aku nebak-nebak wae). Nah ini wis kadung lewat umur kudu masuk dengan ijazah S1 ya mau tak maulah mulai dari awal, golongan IIIa, setap baruuu. Makanya kalo saat ngelamar itu ditanya niat ya niate cuma setengah hati, setengahnya lagi untuk menyenangkan hati suami. Kalo ditanya kenapa ga niat jadi PNS ya embuh...emang belum niat dan belum tahu seluk beluknya dan ga pengen tahu. Tapi aku ga sampai termasuk orang atau golongan yang menganggap pekerjaan sebagai PNS adalah pekerjaan syubhat apalagi haram karena IMHO segala muamalat asalnya adalah boleh dan halal. Dan memang kebetulan saja dari keluargaku jarang yang jadi PNS sehingga bapak dan mamaku tidak memusingkan status pekerjaan kami, mo jadi pegawai swasta kek, negeri kek, tidak masalah asal jangan jadi garong (husy...na'udzubillah min dzalik). Asal anak-anaknya mendapat pekerjaan dengan mudah dan dapat gaji yang (lebih dari) cukup saja sudah alhamdulillah bagi mereka. Tambahan lagi nih, kalo dari aku sendiri jadi PNS ya ga kepikiran sejak dulu karena pas baru lulus kuliah dulu orientasinya masih besaran gaji. Kemudian setelah punya anak ada orientasi lain yaitu loading pekerjaan tidak terlalu berat dan waktu bekerja yang fleksibel (hehe emang kalo jadi manager loading kerja ga berat yah?). Sehingga mungkin saat-saat itu bagi aku menjadi PNS bukan pilihan yang tepat. Lagipula emang IPK aku kurang memenuhi syarat buat ngelamar jadi PNS di departemen/kementerian yang keren (dengan kata lain, tempat dinas yang sekarang dapat renumerasi), yah maklum rada2 oon gitu lah hehe engga lah ga bodo2 amat cuma kurang rajin belajar. Dan kalo pun ada yang lolos di IPK eh ga lolos di umur. Bingung juga ya apa aku dah segitu uzurnya kah? padahal baru 24 years old loh (ngapusi). 

Lain halnya dengan papa dan mama (mertua) yang statusnya PNS sejak dulu. Dengan bekerja sebagai abdi negara yang kata orang gajinya kecil toh mereka sanggup membiayai kehidupan mereka dan membiayai pendidikan semua anak mereka hingga perguruan tinggi dan (ini alasan penting) dengan status tsb mereka ga kekurangan. Mungkin itulah mengapa bagi mereka ada kebanggaan tersendiri ketika anak-anak atau menantunya menjadi civil servant atau government employee atau aparatur negara alias PNS (hiyah koq yo dadi akeh aliase tho?). 

Memang sih ini bukan kali pertama aku ikut tes CPNS. Pernah dua-tiga kali di Pemda suatu kota/kabupaten, tapi belum berhasil lulus. Mungkin saat itu emang niatnya belum kuat, sehingga belum masuk kriteria "faidza azzamtu fa tawakal 'alallah" jadinya gada keikhlasan dan yasutralah belum saatnya. Nah, kali ini berbekal kepasrahan dan mencoba mengikhlaskan keputusan ikut suami untuk boyongan ke kampungnya, maka do'aku kemudian...."Ya Allah, pilihkanlah yang terbaik bagi dunia dan akhirat kami serta keluarga kami dan jika memang menjadi PNS ini jalanku/rezekiku maka ikhlaskan dan mudahkanlah segala urusanku". Kedengarannya sudah lumayan pasrah ya padahal sempat juga sih ketika bingung dan sedikit perasaan 'sok pinter' plus juga keinginan membahagiakan ortu dan suami, maka sempat do'aku seperti ini...."Ya Allah, luluskanlah aku dalam tes CPNS ini" (malu lah kalo ga lulus, katanya alumni center of excellence dan PSIMnya) hehe begitulah sejujurnya. 

Dan ketika pada akhirnya (halah bahasanya cha) diriku mencoba ikhlas menyerahkan semua urusan dan pilihan kepada Allah eh ndilalah koq ya keputusannya seperti ini dan namaku yang bagus tertera disitu nomer urut 203 (please jangan dipasang buat togel). Suami dan keluarga besar kami hepi (itu yang terpenting)...berbahagialah diriku bisa membuat orang2 yang kukasihi bahagia ^_^. Nah, alhamdulillah kan aku tuh ga bodo2 banget lha wong terpampang di pengumuman kelulusan di BKPP (dahulu BKD) yang lengkap dengan nilainya aku ranking 1 di daftar kelulusan hehe koq iso ya. Akhirnya dengan didampingi Manajer & Humasku (masku tercintah), aku ngurus surat-surat (SKCK, Surat Keterangan Kesehatan Jasmani dan Rohani, Surat Keterangan tidak mengkonsumsi/menggunakan narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya, Surat2 Pernyataan cem macem plus legalisir Ijazah SD, SMP, SMA dan Ijazah S1). Nah saat legalisir ijazah S1 ini juga sempat muncul lagi perasaan 'rendah diri' ah koq ya mau2nya aku sekarang jadi PNS entry level padahal teman se-angkatan kuliahku dulu dah jadi Dekan di kampusku, jadi yang neken/tandatangan pengesahan ijazahku nanti beliau, ahai malunya dirikuh. Yah, sudahlah...harus banyak2 istighfar dan kembali bersyukur, kan sejak awal niatnya demi menjadi istri sholeha aku nunut (ikut) suami  dan biar aku ada status/kerjaan disana...jadi, alhamdulillah 3x meski sempat hectic tapi akhirnya semua berjalan lancar dan urusan rerepot pemberkasan dah selesai. So, jangan tanyakan lagi mengapa aku kini menyandang status ituh ya. Cukuplah kisah dalam bab ini, lanjutkan bab lainnya yang insyaAllah mudah-mudahan berkah, hepi, sejahtera dan lancar jayaaa, amiin. “Wa maan yattaqillaaha yaj'al lahu mahroja wa yarzuqhu minhaitsu layahtasib…Wamaa yattawaqal 'alallaahi fahuwa hasbuhu innaallaha balighu amrihi  qad ja'alallaahu liqulli syai'in qodro”

Back to Blog

Senangnyaaa bisa posting di blog lagi. Hhh katanya mo jadi penulis tapi nulis disini aja bisa bolong berbulan-bulan, gimana nih. Ada sih alasannya, banyaaak...biasalah ibu2 suka BCA (banyak cari alesan). Tapi yg paling masuk akal sih, dan emang bener alias bukan alesan yg dibuat2, karena selama 7 bulan ini fokus di kehamilan dan melahirkan. Lha wong Tugas Negara dan Jihad seorang Mama ya super penting lah, top priority. Alhamdulillah bulan Agustus lalu sudah berhasil selamat lahir batin 'menampilkan' ke dunia ini seorang baby Almira Radhiah yang sehat cantik dan berkulit eksotik, imut dan lutuuu banget. Another baby girl...alhamduliLlah, tapi kapan baby boy-nya ya? Sedihnya, dede Almira belum sempat tampil nih di diary mama Echa. Tapi mama janji, postingan selanjutnya pasti deh baby Almira jadi cover dan kisah utama. 

Anyway, alhamduliLlah hari ini dapat tiket pulang ke Depok. Sekalian mau nyoba rute penerbangan (relatif) baru nih dari Bandara Silampari Lubuklinggau langsung ke Bandara Soetta Jakarta. Harga tiketnya normal 650rb rupiah. Iya nih, mama Echa sudah 3 hari ini terdampar di pulau Sumatera bagian Selatan di kota Lubuklinggau dalam rangka mengurus pindah kewarganegaraan kesana insyaAllah. Namanya juga istri sholeha (amiin3x insyaAllah) jadi ya mau engga mau ikut suami. Huhuhu padahal aq belum dapet onta merah Hummer, belum disediain rumah idaman...tapi mau gimana lagi, papa Rudi sudah terlanjur bilang..."pulang kampung nih (gaya Obama)" so, BismiLlaahi tawakkalna ala'Llah, siap2 go local. Mudah2an dari local dapet jalan tuk go international...kali2 aja ada yg mo sekolahin doktor di LN, amiin. Dah ah, siap2 pulang ke rumah Depok dulu yaaa...mama's coming home lovely girls and baby Almira...miss you honey ^_^

Gaza Tidak Membutuhkanmu

Di atas M/S Mavi Marmara, di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.

Sudah lebih dari 24 jam berlalu sejak kapal ini berhenti bergerak karena sejumlah alasan, terutama menanti datangnya sebuah lagi kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza. Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran.

Ada banyak cara untuk melewatkan waktu – banyak di antara kami yang membaca Al-Quran, berzikir atau membaca. Ada yang sibuk mengadakan halaqah. Beyza Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk peserta Muslimah Turki. Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang ahli hadist, Dr Usama Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain an-Nawawiyah secara singkat dan berjanji bahwa para peserta akan mendapat sertifikat.

Wartawan sibuk sendiri, para aktivis – terutama veteran perjalanan-perjalanan ke Gaza sebelumnya – mondar-mandir; ada yang petantang-petenteng memasuki ruang media sambil menyatakan bahwa dia "tangan kanan" seorang politisi Inggris yang pernah menjadi motor salah satu konvoi ke Gaza.

Activism

Ada begitu banyak activism, heroism. Bahkan ada seorang peserta kafilah yangmengenakan T-Shirt yang di bagian dadanya bertuliskan "Heroes of Islam" alias "Para Pahlawan Islam." Di sinilah terasa sungguh betapa pentingnya menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah Ta'ala.

Yang wartawan sering merasa hebat dan powerful karena mendapat perlakuan khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar sementara para peserta lain tidak. Yang berposisi penting di negeri asal, misalnya anggota parlemen atau pengusaha, mungkin merasa diri penting karena sumbangan material yang besar terhadap Gaza.

Kalau dibiarkan riya akan menyelusup, na'udzubillahi min dzaalik, dan semua kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi sumber amarah Allah Ta'ala.

Mengerem

Dari waktu ke waktu, ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekejaan menyita kesempatan untuk duduk merenung dan tafakkur, sungguh perlu bagiku untuk mengerem dan mengingatkan diri sendiri. Apa yang kau lakukan Santi? Untuk apa kau lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau berlindung kepada Allah dari ketidakikhlasan dan riya? Kau pernah berada dalam situasi ketika orang menganggapmu berharga, ucapanmu patut didengar, hanya karena posisimu di sebuah penerbitan? And where did that lead you? Had that situation led you to Allah, to Allah's blessing and pleasure, or had all those times brought you Allah's anger and displeasure?

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi dunia di  sini. Mulai dari Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim sampai seorang Muslimah muda pendiam dan shalihah yang tidak banyak berbicara selain sibuk membantu agar kawan-kawannya mendapat sarapan, makan siang dan malam pada waktunya. Dari para ulama terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa pria ikhlas yang tanpa banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung rokok sejumlah perokok ndableg.

Kalau  hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, di tempat ini juga ada orang-orang terkenal yang petantang-petenteng karena ketenaran mereka.

Semua berteriak, "Untuk Gaza!" namun siapakah di antara mereka yang teriakannya memenangkan ridha Allah? Hanya Allah yang tahu.

Gaza Tak Butuh Aku

Dari waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan diriku bahwa Al-Quds tidak membutuhkan aku. Gaza tidak membutuhkan aku. Palestina tidak membutuhkan aku.

Masjidil Aqsha milik Allah dan hanya membutuhkan pertolongan Allah. Gaza hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan Allah. Bila Allah mau, sungguh mudah bagiNya untuk saat ini juga, detik ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha. Membebaskan Gaza dan seluruh Palestina.

Akulah yang butuh berada di sini, suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak - betapa pun sedikitnya - menolong agamaNya. Menolong membebaskan Al-Quds.

Sungguh mudah menjeritkan slogan-slogan, Bir ruh, bid dam, nafdika ya Aqsha. Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!

Namun sungguh sulit memelihara kesamaan antara seruan lisan dengan seruan hati.

Cara Allah Mengingatkan

Aku berusaha mengingatkan diriku selalu. Namun Allah selalu punya cara terbaik untuk mengingatkan aku.

Pagi ini aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekedarnya - karena tak mungkin mandi di tempat dengan air terbatas seperti ini, betapa pun gerah dan bau asemnya tubuhku.

Begitu masuk ke salah satu bilik, ternyata toilet jongkok yang dioperasikan dengan sistem vacuum seperti di pesawat itu dalam keadaan mampheeeeet karena ada dua potongan kuning coklaaat menyumbat lubangnya! Apa yang harus kulakukan? Masih ada satu bilik dengan toilet yang berfungsi, namun kalau kulakukan itu, alangkah tak bertanggung-jawabnya aku rasanya? Kalau aku mengajarkan kepada anak-anak bahwa apa pun yang kita lakukan untuk membantu mereka yang fii sabilillah akan dihitung sebagai amal fii sabilillah, maka bukankah sekarang waktunya aku melaksanakan apa yang kuceramahkan?

Entah berapa kali kutekan tombol flush, tak berhasil. Kotoran itu ndableg bertahan di situ. Kukosongkan sebuah keranjang sampah dan kuisi dengan air sebanyak mungkin – sesuatu yang sebenarnya terlarang karena semua peserta kafilah sudah diperingatkan untuk menghemat air - lalu kusiramkan ke toilet.

Masih ndableg.
Kucoba lagi menyiram
Masih ndableg.
Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan tanganku sendiri

Kubungkus tanganku dengan tas plastik. Kupencet sekali lagi tombol flush. Sambil sedikit melengos dan menahan nafas, kudorong tangan kiriku ke lubang toilet.

Blus!
Si kotoran ndableg itu pun hilang disedot pipa entah kemana

Lebih dari 10 menit kemudian kupakai untuk membersihkan diriku sebaik mungkin sebelum kembali ke ruang perempuan, namun tetap saja aku merasa tak bersih. Bukan di badan, mungkin, tapi di pikiranku, di jiwaku.

Ada peringatan Allah di dalam kejadian tadi - agar aku berendah-hati, agar aku ingat bahwa sehebat dan sepenting apa pun tampaknya tugas dan pekerjaanku, bila kulakukan tanpa keikhlasan, maka tak ada artinya atau bahkan lebih hina daripada mendorong kotoran ndableg tadi.

Allahumaj'alni minat tawwabiin
Allahumaj'alni minal mutatahirin
Allahumaj'alni min ibadikassalihin

29 Mei 2010, 22:20

Santi Soekanto
Ibu rumah tangga dan wartawan yang ikut dalam kafilah Freedom Flotilla to Gaza Mei 2010.
 
http://www.detiknews.com/read/2010/05/31/152331/1366781/10/tulisan-terakhir-santi-sehari-sebelum-diserang-israel?991101605 (fay/nrl)