PNS : Sebuah Status Seribu Kisah

Entah harus mulai dari mana kisah ini, sepertinya kami sedang membaca buku kehidupan kami pada bab sekian halaman sekian dan tiba-tiba disinilah kami, di awal bab baru kehidupan yang beberapa bulan ke depan akan kami jalani. Berawal dari sini dan keinginan suami sejak tahun 2008 untuk memboyong kami kembali ke daerah asalnya dan berkiprah di sana atau disana lalu beliau dengan antusias menyiapkan dan mensubmit dokumen yang dipersyaratkan setelah sebelumnya aku diminta untuk registrasi online agar dapat kartu verifikasi dan terdaftar sebagai peserta tes CPNS. Lalu aku dipanggil tes tertulis (tes I / Tes Kemampuan Dasar dan Psikotes Tertulis), lalu lulus tahap I ikut lagi tes wawancara (tes II / wawancara bidang keilmuan masing-masing dan psikotes lisan) dan lulus lagi barulah ikut tes kesehatan dan sehat jasmani rohani.

Loh, mau jadi PNS ya? Eng...engga sih, dari dulu tak berminat. Apalagi sekarang karena dari segi waktu (umur) aku yo wis rugi. Sudah terpakai 12 tahun untuk berkiprah di swasta dan kalo mulainya sejak lulus mungkin sudah di golongan IIId ya sekarang (piye ngitunge aku nebak-nebak wae). Nah ini wis kadung lewat umur kudu masuk dengan ijazah S1 ya mau tak maulah mulai dari awal, golongan IIIa, setap baruuu. Makanya kalo saat ngelamar itu ditanya niat ya niate cuma setengah hati, setengahnya lagi untuk menyenangkan hati suami. Kalo ditanya kenapa ga niat jadi PNS ya embuh...emang belum niat dan belum tahu seluk beluknya dan ga pengen tahu. Tapi aku ga sampai termasuk orang atau golongan yang menganggap pekerjaan sebagai PNS adalah pekerjaan syubhat apalagi haram karena IMHO segala muamalat asalnya adalah boleh dan halal. Dan memang kebetulan saja dari keluargaku jarang yang jadi PNS sehingga bapak dan mamaku tidak memusingkan status pekerjaan kami, mo jadi pegawai swasta kek, negeri kek, tidak masalah asal jangan jadi garong (husy...na'udzubillah min dzalik). Asal anak-anaknya mendapat pekerjaan dengan mudah dan dapat gaji yang (lebih dari) cukup saja sudah alhamdulillah bagi mereka. Tambahan lagi nih, kalo dari aku sendiri jadi PNS ya ga kepikiran sejak dulu karena pas baru lulus kuliah dulu orientasinya masih besaran gaji. Kemudian setelah punya anak ada orientasi lain yaitu loading pekerjaan tidak terlalu berat dan waktu bekerja yang fleksibel (hehe emang kalo jadi manager loading kerja ga berat yah?). Sehingga mungkin saat-saat itu bagi aku menjadi PNS bukan pilihan yang tepat. Lagipula emang IPK aku kurang memenuhi syarat buat ngelamar jadi PNS di departemen/kementerian yang keren (dengan kata lain, tempat dinas yang sekarang dapat renumerasi), yah maklum rada2 oon gitu lah hehe engga lah ga bodo2 amat cuma kurang rajin belajar. Dan kalo pun ada yang lolos di IPK eh ga lolos di umur. Bingung juga ya apa aku dah segitu uzurnya kah? padahal baru 24 years old loh (ngapusi). 

Lain halnya dengan papa dan mama (mertua) yang statusnya PNS sejak dulu. Dengan bekerja sebagai abdi negara yang kata orang gajinya kecil toh mereka sanggup membiayai kehidupan mereka dan membiayai pendidikan semua anak mereka hingga perguruan tinggi dan (ini alasan penting) dengan status tsb mereka ga kekurangan. Mungkin itulah mengapa bagi mereka ada kebanggaan tersendiri ketika anak-anak atau menantunya menjadi civil servant atau government employee atau aparatur negara alias PNS (hiyah koq yo dadi akeh aliase tho?). 

Memang sih ini bukan kali pertama aku ikut tes CPNS. Pernah dua-tiga kali di Pemda suatu kota/kabupaten, tapi belum berhasil lulus. Mungkin saat itu emang niatnya belum kuat, sehingga belum masuk kriteria "faidza azzamtu fa tawakal 'alallah" jadinya gada keikhlasan dan yasutralah belum saatnya. Nah, kali ini berbekal kepasrahan dan mencoba mengikhlaskan keputusan ikut suami untuk boyongan ke kampungnya, maka do'aku kemudian...."Ya Allah, pilihkanlah yang terbaik bagi dunia dan akhirat kami serta keluarga kami dan jika memang menjadi PNS ini jalanku/rezekiku maka ikhlaskan dan mudahkanlah segala urusanku". Kedengarannya sudah lumayan pasrah ya padahal sempat juga sih ketika bingung dan sedikit perasaan 'sok pinter' plus juga keinginan membahagiakan ortu dan suami, maka sempat do'aku seperti ini...."Ya Allah, luluskanlah aku dalam tes CPNS ini" (malu lah kalo ga lulus, katanya alumni center of excellence dan PSIMnya) hehe begitulah sejujurnya. 

Dan ketika pada akhirnya (halah bahasanya cha) diriku mencoba ikhlas menyerahkan semua urusan dan pilihan kepada Allah eh ndilalah koq ya keputusannya seperti ini dan namaku yang bagus tertera disitu nomer urut 203 (please jangan dipasang buat togel). Suami dan keluarga besar kami hepi (itu yang terpenting)...berbahagialah diriku bisa membuat orang2 yang kukasihi bahagia ^_^. Nah, alhamdulillah kan aku tuh ga bodo2 banget lha wong terpampang di pengumuman kelulusan di BKPP (dahulu BKD) yang lengkap dengan nilainya aku ranking 1 di daftar kelulusan hehe koq iso ya. Akhirnya dengan didampingi Manajer & Humasku (masku tercintah), aku ngurus surat-surat (SKCK, Surat Keterangan Kesehatan Jasmani dan Rohani, Surat Keterangan tidak mengkonsumsi/menggunakan narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya, Surat2 Pernyataan cem macem plus legalisir Ijazah SD, SMP, SMA dan Ijazah S1). Nah saat legalisir ijazah S1 ini juga sempat muncul lagi perasaan 'rendah diri' ah koq ya mau2nya aku sekarang jadi PNS entry level padahal teman se-angkatan kuliahku dulu dah jadi Dekan di kampusku, jadi yang neken/tandatangan pengesahan ijazahku nanti beliau, ahai malunya dirikuh. Yah, sudahlah...harus banyak2 istighfar dan kembali bersyukur, kan sejak awal niatnya demi menjadi istri sholeha aku nunut (ikut) suami  dan biar aku ada status/kerjaan disana...jadi, alhamdulillah 3x meski sempat hectic tapi akhirnya semua berjalan lancar dan urusan rerepot pemberkasan dah selesai. So, jangan tanyakan lagi mengapa aku kini menyandang status ituh ya. Cukuplah kisah dalam bab ini, lanjutkan bab lainnya yang insyaAllah mudah-mudahan berkah, hepi, sejahtera dan lancar jayaaa, amiin. “Wa maan yattaqillaaha yaj'al lahu mahroja wa yarzuqhu minhaitsu layahtasib…Wamaa yattawaqal 'alallaahi fahuwa hasbuhu innaallaha balighu amrihi  qad ja'alallaahu liqulli syai'in qodro”

0 komentar: