Menyimak isi media 
di negeri kita  beberapa pekan belakangan ini yang melulu soal 
pembohongan publik oleh  pemerintah, saya jadi gatal ingin ikutan 
berpendapat (curhat, tepatnya).  Pernyataan tentang kebohongan 
pemerintah tersebut dikeluarkan oleh para  pemuka agama yang merasa 
gerah oleh pemberitaan selama ini tentang  dinamika ekonomi, politik, 
hukum dan sosial di negeri ini. Tentang  pencapaian target ekonomi yang 
digembar-gemborkan pemerintah meski  kenyataannya bagi orang yang melek 
ekonomi pencapaian tersebut tidak  dapat dijadikan simpulan. Salah satu 
contohnya, menggunakan angka  pendapatan per kapita yang tidak 
menggambarkan kesejahteraan negara yang  sesungguhnya. Mungkin 
teman-teman yang kuliah ekonomi masih ingat mata  kuliah statistik, atau
 tentang prinsip Pareto, kemudian coba deh dipakai  untuk 
mendeskripsikan distribusi pendapatan (khususnya di negara kita  ini 
aja). Lalu coba jelaskan alasan mengapa angka pendapatan per kapita  
yang dinyatakan sebesar 2,700 dollar tahun ini jadi semacam data  
statistik yang mengelabui.
Tapi tunggu dulu 
(jangan asal nuduh  pemerintah berdusta lah), ada indikator ekonomi lain
 yang disuguhkan  yaitu tingkat kemiskinan menurun menjadi 13.5% dari 
16,6% (menurut data  BPS). Masih menurut data BPS, pertumbuhan ekonomi 
Indonesia hingga  Triwulan III 2010 telah mencapai 5,8% dari prediksi 
pertumbuhan tahun  2010 yang mencapai 6%. Meskipun demikian, hal ini 
tidak lantas  berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat karena 
kenyataannya rakyat  merasa saat ini pekerjaan justru semakin sulit 
didapat, sehingga angka  pengangguran makin tinggi dan orang miskin 
makin banyak. Artinya, jika  pertumbuhan ekonomi tidak menyerap angkatan
 kerja atau dengan kata lain  pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan
 pemerataan ekonomi maka yang  muncul kemudian adalah semakin dalamnya 
jurang perbedaan pendapatan  (kesenjangan sosial). Apakah pemerintah 
sekedar ingin menghibur rakyat  dengan ‘rapor’ indikator ekonomi yang 
bagus meski kenyataan berkata  sebaliknya? Rakyat tidak butuh 
‘nyanyian’, rakyat butuh perhatian.  Ditambah lagi kasus Gayus yang 
‘jayus’ banged dan menghebohkan dengan  sepak terjangnya yang mencoreng 
wajah hukum dan perpajakan kita yang  asalnya sudah cukup ‘butek’. Kasus
 yang kental aroma politik  (politisasi) ini sedikit demi sedikit 
menguak ketidakjujuran pemerintah  dan (oknum) aparatur pemerintahan. 
Apalagi sebelumnya ada kasus century,  Antasari, dan sederet kasus lain 
yang penyelesaiannya (sudah selesai  belum sih, atau ‘diselesaikan’?) 
belum jelas.
Entah siapa yang 
suka berdusta dan  mengorbankan kebenaran demi kepentingannya sendiri. 
Hal-hal diatas bisa  jadi hanyalah puncak yang terlihat, dari gunung es 
masalah-masalah yang  sebenarnya ada. Dan pemerintah yang dinilai tahu 
atau seharusnya tahu  mengenai permasalahan yang ada malah bermain drama
 dengan kebohongan  demi pencitraan. Padahal perilaku bohong adalah 
fenomena terburuk  menurut pandangan agama mana pun. Oleh karena itu, 
para pemuka agama  memandang perlu turun gunung dan menegur pemerintah 
agar jujur dan terus  terang terhadap rakyat dan memperhatikan 
permasalahan yang ada. Jangan  sampai rakyat yang terbohongi marah atau 
yang justru paling membahayakan  adalah rakyat menjadi apatis, tidak 
percaya pada pemerintah (pemimpin)  apalagi jika pembohongan itu sudah 
sistemik maka bukan tidak mungkin  rakyat menganggap perilaku bohong 
merupakan hal biasa. Bukhari Muslim  meriwayatkan dari Abdullah bin Amr 
Al-Ash r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda:  “Ada empat sifat yang bila 
dimiliki maka pemiliknya adalah munafik. Dan  barang siapa yang memiliki
 salah satu di antara empat sifat tersebut,  itu berarti ia telah 
menyimpan satu tabiat munafik sampai ia tinggalkan.  Yaitu apabila 
berbicara ia berbohong, apabila bersepakat ia berkhianat,  apabila 
berjanji ia mengingkari dan apabila bertikai ia berbuat  curang.” (HR. 
Muslim).
Jika pemerintah 
sudah dianggap  kerap berdusta, maka kepada siapa rakyat bisa menaruh 
kepercayaan?  Kebohongan itu ibarat jamur di musim hujan. Cepat 
bertumbuh, karena satu  kebohongan terpaksa harus ditutupi dengan bohong
 yang lain, terus  begitu tak berkesudahan hingga kebenaran muncul. 
Tentu rakyat tidak  ingin dipimpin oleh pemerintahan yang munafik. Untuk
 itu, maka sudahilah  kebohongan yang ada. Evaluasi diri dan fokus saja 
mengurus rakyat  dengan baik, memimpin rakyat dengan teladan yang baik, 
edukasi rakyat  dengan jujur, jangan rakyat yang hidupnya sudah susah 
masih dibohongi  juga. Setelah itu, boleh juga lah sekali-kali bernyanyi
 lagunya om  Broeri-tante Dewi Yull…..jangan ada dusta diantara kita.






 


 




1 komentar:
lebih baik emang pemerintah jujur dan terbuka dan adil lahh, supaya tidak menyusahkan rakyat yah, semua harus dimusyawarahkan :)
jangan ada dusta hahaha
ohya, mampir dong keforum jual beli ini:
www.ocehan.com
thankies :)
Posting Komentar