Di atas M/S Mavi Marmara, di Laut
Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.
Sudah lebih dari 24 jam berlalu
sejak kapal ini berhenti bergerak karena sejumlah alasan, terutama
menanti datangnya sebuah lagi kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah
anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut dalam kafilah
Freedom Flotilla menuju Gaza. Kami masih menanti, masih tidak pasti,
sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran.
Ada banyak
cara untuk melewatkan waktu – banyak di antara kami yang membaca
Al-Quran, berzikir atau membaca. Ada yang sibuk mengadakan halaqah.
Beyza Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk
peserta Muslimah Turki. Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang
ahli hadist, Dr Usama Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain
an-Nawawiyah secara singkat dan berjanji bahwa para peserta akan
mendapat sertifikat.
Wartawan sibuk sendiri, para aktivis –
terutama veteran perjalanan-perjalanan ke Gaza sebelumnya –
mondar-mandir; ada yang petantang-petenteng memasuki ruang media sambil
menyatakan bahwa dia "tangan kanan" seorang politisi Inggris yang pernah
menjadi motor salah satu konvoi ke Gaza.
Activism
Ada
begitu banyak activism, heroism. Bahkan ada seorang peserta kafilah
yangmengenakan T-Shirt yang di bagian dadanya bertuliskan "Heroes of
Islam" alias "Para Pahlawan Islam." Di sinilah terasa sungguh betapa
pentingnya menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah
Ta'ala.
Yang wartawan sering merasa hebat dan powerful karena
mendapat perlakuan khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar
sementara para peserta lain tidak. Yang berposisi penting di negeri
asal, misalnya anggota parlemen atau pengusaha, mungkin merasa diri
penting karena sumbangan material yang besar terhadap Gaza.
Kalau
dibiarkan riya akan menyelusup, na'udzubillahi min dzaalik, dan semua
kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut
yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi
sumber amarah Allah Ta'ala.
Mengerem
Dari waktu ke waktu,
ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekejaan menyita kesempatan
untuk duduk merenung dan tafakkur, sungguh perlu bagiku untuk mengerem
dan mengingatkan diri sendiri. Apa yang kau lakukan Santi? Untuk apa kau
lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau berlindung kepada Allah dari
ketidakikhlasan dan riya? Kau pernah berada dalam situasi ketika orang
menganggapmu berharga, ucapanmu patut didengar, hanya karena posisimu di
sebuah penerbitan? And where did that lead you? Had that situation led
you to Allah, to Allah's blessing and pleasure, or had all those times
brought you Allah's anger and displeasure?
Kalau hanya sekedar
penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak
orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi dunia di sini. Mulai
dari Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim sampai seorang Muslimah muda
pendiam dan shalihah yang tidak banyak berbicara selain sibuk membantu
agar kawan-kawannya mendapat sarapan, makan siang dan malam pada
waktunya. Dari para ulama terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa
pria ikhlas yang tanpa banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung
rokok sejumlah perokok ndableg.
Kalau hanya sekedar penghargaan
manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, di tempat ini juga ada
orang-orang terkenal yang petantang-petenteng karena ketenaran mereka.
Semua
berteriak, "Untuk Gaza!" namun siapakah di antara mereka yang
teriakannya memenangkan ridha Allah? Hanya Allah yang tahu.
Gaza
Tak Butuh Aku
Dari waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan
diriku bahwa Al-Quds tidak membutuhkan aku. Gaza tidak membutuhkan aku.
Palestina tidak membutuhkan aku.
Masjidil Aqsha milik Allah dan
hanya membutuhkan pertolongan Allah. Gaza hanya butuh Allah. Palestina
hanya membutuhkan Allah. Bila Allah mau, sungguh mudah bagiNya untuk
saat ini juga, detik ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha. Membebaskan
Gaza dan seluruh Palestina.
Akulah yang butuh berada di sini,
suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah
memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak -
betapa pun sedikitnya - menolong agamaNya. Menolong membebaskan Al-Quds.
Sungguh
mudah menjeritkan slogan-slogan, Bir ruh, bid dam, nafdika ya Aqsha.
Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!
Namun sungguh sulit memelihara
kesamaan antara seruan lisan dengan seruan hati.
Cara Allah
Mengingatkan
Aku berusaha mengingatkan diriku selalu. Namun Allah
selalu punya cara terbaik untuk mengingatkan aku.
Pagi ini aku
ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekedarnya - karena tak mungkin
mandi di tempat dengan air terbatas seperti ini, betapa pun gerah dan
bau asemnya tubuhku.
Begitu masuk ke salah satu bilik, ternyata
toilet jongkok yang dioperasikan dengan sistem vacuum seperti di pesawat
itu dalam keadaan mampheeeeet karena ada dua potongan kuning coklaaat
menyumbat lubangnya! Apa yang harus kulakukan? Masih ada satu bilik
dengan toilet yang berfungsi, namun kalau kulakukan itu, alangkah tak
bertanggung-jawabnya aku rasanya? Kalau aku mengajarkan kepada anak-anak
bahwa apa pun yang kita lakukan untuk membantu mereka yang fii
sabilillah akan dihitung sebagai amal fii sabilillah, maka bukankah
sekarang waktunya aku melaksanakan apa yang kuceramahkan?
Entah
berapa kali kutekan tombol flush, tak berhasil. Kotoran itu ndableg
bertahan di situ. Kukosongkan sebuah keranjang sampah dan kuisi dengan
air sebanyak mungkin – sesuatu yang sebenarnya terlarang karena semua
peserta kafilah sudah diperingatkan untuk menghemat air - lalu
kusiramkan ke toilet.
Masih ndableg.
Kucoba lagi menyiram
Masih
ndableg.
Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan tanganku sendiri
Kubungkus
tanganku dengan tas plastik. Kupencet sekali lagi tombol flush. Sambil
sedikit melengos dan menahan nafas, kudorong tangan kiriku ke lubang
toilet.
Blus!
Si kotoran ndableg itu pun hilang disedot pipa
entah kemana
Lebih dari 10 menit kemudian kupakai untuk
membersihkan diriku sebaik mungkin sebelum kembali ke ruang perempuan,
namun tetap saja aku merasa tak bersih. Bukan di badan, mungkin, tapi di
pikiranku, di jiwaku.
Ada peringatan Allah di dalam kejadian
tadi - agar aku berendah-hati, agar aku ingat bahwa sehebat dan
sepenting apa pun tampaknya tugas dan pekerjaanku, bila kulakukan tanpa
keikhlasan, maka tak ada artinya atau bahkan lebih hina daripada
mendorong kotoran ndableg tadi.
Allahumaj'alni minat tawwabiin
Allahumaj'alni
minal mutatahirin
Allahumaj'alni min ibadikassalihin
29 Mei
2010, 22:20
Santi Soekanto
Ibu rumah tangga dan wartawan yang
ikut dalam kafilah Freedom Flotilla to Gaza Mei 2010.
http://www.detiknews.com/read/2010/05/31/152331/1366781/10/tulisan-terakhir-santi-sehari-sebelum-diserang-israel?991101605 (fay/nrl)
Gaza Tidak Membutuhkanmu
Label:
Tausyiah
- 31.5.10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
hai there, salam kenal ya.
mau ngomongin masalah uang? kesulitan pinjaman dana? ingin sampingan yang mendapatkan uang? bisnis online?
silahkan kunjungi web kami
artikelnya bagus...keep posting bu...
salam
Posting Komentar