Kembangkan Diri Anda, Jika Tidak Matilah!

Oleh: Tim Dakwatuna.com

Tanmiyah
(perkembangan) asal katanya dari namaa yang bermakna terus bertambah banyak dan makna lainnya adalah tumbuh secara fisik bak tumbuh-tumbuhan dan jasad manusia. Akan tetapi istilah tanmiyah ini biasa digunakan pada bidang ekonomi dan perindustrian di masa kiwari. Dan orang selalu melekatkan pengembangan ini dengan pengertian ke arah industri dan perekonomian. Dalam ungkapan masyarakat modern saat kini istilah tanmiyah sering disebut dengan ‘pertumbuhan bidang pertanian, ekonomi, industri dan perbankan’.

Ajaran Islam memandang bahwa pengertian tanmiyah mencakup semua bidang garapan kehidupan. Karena kehidupan ini menurut ajaran Islam senantiasa berkembang secara sempurna, bertahap dan seimbang. Bahkan sudah menjadi kemestian di alam semesta ini (hatmiyatul alamiyah). Sebab itu jika tidak ada perkembangan dalam hidup ini maka hidup ini dinilai stagnan, mundur dan terbelakang dan hal kemudian dapat menyebabkan cepat binasa. Karena itu Syaikh Muhammad Ahmad Ar Rasyid dalam Ar Raqaiq menyatakan bahwa ‘bila tidak ada jalan tanmiyah maka yang ada hanyalah jalan menuju kejumudan’.



Dalam pandangan Islam, At Tanmiyah merupakan pemahaman yang universal dan sempurna. Dan kedudukan tanmiyah ini sebagai pembangun motivator untuk merealisasikan keuniversalan ajaran-Nya. Sebagaimana dalam arahan Rasulullah saw. tentang dinamika waktu. Beliau menyatakan, “Siapa yang hari esok dan hari ini sama dengan hari kemarin sungguh ia telah merugi.” Arahan itu semakin memperbesar voltase motivasi pengembangan hingga tidak lagi memperhitungkan efektivitas waktu sebagaimana juga dalam sabda Rasulullah saw., “Jika esok hari kiamat datang sedang di tangan seseorang ada sebuah bibit, maka tanamlah.”
Dalam riwayat lainnya, Umar Ibnul Khaththab r.a. memarahi seseorang yang masih berada di dalam masjid sementara yang lainnya sudah pergi ke tempat pekerjaannya masing-masing. Umar amat murka kepadanya dan menghadiknya, “Berdirilah kamu! Agama ini tidak akan mati oleh orang sepertimu, dan semoga Allah mematikanmu.” Kemarahan Umar ini lantaran orang tersebut stagnan dalam menjalani hidupnya. Bagai tak memiliki kemauan menyambut hidup. Tidak ada indikasi dinamika perkembangan hidup yang dijalaninya. Apalagi agama ini tidak hanya diselesaikan dengan memutar-mutar tasbih di atas sajadah saja. Melainkan perlu juga keluar untuk menyaksikan fenomena alam dengan segala karunia-Nya.

Tanmiyah dalam ajaran Islam mempunyai hubungan yang mutlak antara kemurnian ajaran ini dengan perkembangan jagat raya. Artinya bahwa perkembangan yang terjadi di alam semsta ini merupakan bukti keautentikan ajaran Islam yang dapat dipahami sebagaimana perjalanan zaman. Bukan pemahaman yang menyatakan bahwa perkembangan alam ini yang terus terjadi menjadikan ajaran ini perlu diaktualisasi agar dapat menjawab perkembangan zaman. Jelas pandangan ini amat keliru dan salah dalam menempatkan Islam sebagai ajaran samawi.

Seorang pujangga mengingatkan:
Zaman yang tak pernah henti berlari
Alam bergerak tak kenal lelah
Angin selalu menyapa bersama desiran kencangnya
Itu karna aturan Sang Perkasa Nan Kuasa
Mengatur dengan rapi dan elok
Tuk hidup sejahtera bagi alam raya

Aspek Tanmiyah Dalam Pandangan Tarbiyah Islamiyah

Tarbiyah sebuah upaya untuk mencapai pembentukan pribadi yang siap memikul tugas dakwah sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga senantiasa memproduk tokoh-tokoh masa terus menerus. Bagai pohon yang selalu panen tak kenal musim. Untuk itu tak bisa dihendari bahwa tarbiyah ini harus menghantarkan ke arah tanmiyah sesuai dengan dinamikanya. Al Ustadz Fathi Yakan dalam Nahwa As Shahwah Al Islamiyah Fi Mustawa Al Ashr memandang bahwa tanmiyah (perkembangan) dalam pandangan Tarbiyah Islamiyah harus mencakup beberapa aspek untuk memenuhi unsur tuntutan zaman, yakni:

1. Pengokohan Keimanan

Perkembangan yang mesti dimiliki orang yang beriman adalah pengokohan keimanan. Dan iman ini harus selalu tumbuh berkembang. Keimanan bagi orang mukmin mesti dalam grafik yang meningkat. Tidak boleh ada celah statis. Sehingga mereka berupaya agar dinamika iman ini terus berkembang. Tentu dengan memberikan komsumsinya yang selalu meningkat taraf kualitas dan kuantitasnya. Agar tidak ada kegagalan dalam keimanan. Sebab setiap ada kegagalan dalam menumbuhkan keimanan akan berdampak negatif dalam kehidupan, perilaku manusia, masyarakat dan keseluruhan dinamika umat.

Rasulullah saw. mengingatkan bahwa tidak akan mencuri, orang yang beriman, tidak akan berzina, orang yang beriman dan tidak akan berdusta, orang yang beriman. Tampaknya beliau memberikan format jelas kepada kita bahwa kegagalan tanmiyah bagi keimanan bisa berakibat buruk dan tidak akan terjadi keburukan selama keimanan ini berdiri tegar. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa tamu dari Yaman terheran-heran menyaksikan kondisi Madinah yang lenggang saat shalat tiba. Penduduk Madinah meninggalkan begitu saja perniagaan, ladang perkebunan, dan rumah mereka. Tamu tersebut bertanya, “Apakah aman negeri ini sehingga mereka tinggalkan saja hartanya tanpa takut diambil orang?”

Begitulah ketika keimanan ini semakin kokoh. Siapa pun mereka tak akan merasa cemas bila keimanan tersebut masih berdiri kuat. Tapi sebaliknya kecemasan dan ketakutan menjadi pakaian mereka saat keimanan itu tidak lagi bersemayam di hati mereka. “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. (An-Nahl: 112)

Oleh karena itu Allah swt. mengingatkan kita semua agar selalu meningkatkan stamina keimanan
dengan memperhatikan aspek tumbuh kembangnya melalui kiat-kiat yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Anfaal: 2 - 3)

2. Perkembangan Ilmiah

Islam sangat memperhatikan perkembangan ilmiah. Semakin bergulirnya zaman semakin tumbuh kembangnya dinamika keilmuan. Ini selaras dengan kebutuhan yang dharuri dari hidup manusia. Bila kita cermati guliran waktu dapat kita temukan perkembangan ilmu. Saat ajaran Islam mulai merambah ke pelosok jazirah maka dengan itu berkembang pula dinamika ilmu. Demikian pula saat Islam menginjakkan kakinya di belahan dunia maka semakin pesat pula tumbuh kembangnya ilmu ini. Jadi semakin komplek masalah yang dihadapi manusia semakin berpeluang untuk berkembangnya. Yang pada masa dahulunya tidak ditemukan penyibakan misteri alam raya. Bila upaya penemuan problematika kehidupan makin memperlebar ruang berkembangnya ilmu.

Karena ilmu dalam prespektif Islam merupakan alat bantu kehidupan manusia. Dan yang lebih penting lagi adalah pintu paling luas untuk menuju keimanan dan mengetahui aturan-aturan Allah swt. Dan dengan ilmu pula dapat memikirkan penciptaan langit dan bumi sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan hingga mendekatkan dirinya pada Sang Maha Pencipta. Kondisi semacam itu bisa tercapai manakala perkembangan ilmiah ini semakin memperkuat nash-nash yang menjadi pijakan. Yang pada akhirnya menghantarkan keimanan dan ketakwaan pada Allah swt.

Islam menuntut umatnya untuk senantiasa memperbaharui ilmu dengan mencari dan mencari, meski ke tempat yang jauh. Sebagai bukti keperluan yang asasiyat dalam mengarungi hidup umat manusia. Imam Malik r.a. mengingatkan murid-muridnya dengan kata-katanya: ‘Al Ilmu yu’ta wa laa ya’ti, ilmu itu didatangi bukan mendatangi’. Ilmu merupakan hajat bagi perkembangan manusia dalam menaklukan alam semesta. Yang sebabnya alam ini tertundukkan untuk kemashlahatannya. Dengan ilmu kemudahan dan kelancaran hidup ini dapat diraih. Sehingga Rasulullah saw. menyamakan orang yang menuntut ilmu dengan mereka yang sedang berjuang. Bahkan selama perjalanannya untuk meraih ilmu pun dianggap sebagai perjalanan dalam perjuangan.

Oleh karena itu Allah swt. membedakan orang yang berilmu dengan mereka yang tidak berilmu. Pembedaan tersebut adalah hal yang wajar. Sebab ilmu yang dimiliki seseorang atau sebuah komunitas dapat meningkatkan harkat dan martabatnya. Seperti firman Allah swt. “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Az-Zumar: 9).

3. Peningkatan Ibadah

Perhatian Islam pada aspek ibadah yang dilakukan seorang mukmin juga amat besar. Ibadah yang dilakukan seorang mukmin harus meningkat secara kualitas dan kuantitas. Maka dengan itu orang yang beriman akan selalu berghairah dalam hidup dan bergeliat untuk menjalaninya. Kualitas dan kuantitas ibadah seorang mukmin sangat mempengaruhi kondisi jiwanya. Ketenangan dan kenyamanan hidup adalah buah yang selalu dipetik orang beriman lantaran ibadahnya. Dan yang lebih diutamakan dari peningkatan ibadahnya adalah pengaruh nilai hidup yang mereka dijalani dengan istiqamah dan loyal pada ajaran Allah swt. Yang karenanya Islam meyerukan agar mempertahankan kualitas dan kuantitas ibadahnya.

Ibadah yang telah ditetapkan dengan masing-masing aturan tentu mempunyai fungsinya masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ibadah wajib mempunyai fungsinya yang tak dapat digantikan dengan ibadah sunnah. Begitu pula dari ibadah sunnah yang beragam tidak dapat digantikan dengan yang lainnya. Karenanya orang beriman bersegera untuk selalu menunaikan ibadah dengan peningkatan kualitas dan kuantitasnya. “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami”. (Al-Anbiyaa’: 90)

Generasi para sahabat yang semoga Allah swt. memuliakan mereka dan meridhainya telah memberikan keteladanan dalam bersegera melakukan ibadah serta meningkatkan kualitasdan kuantitas ibadahnya. Lebih-lebih pada momen yang amat berharga semisal Rajab, Sya’ban, Ramadhan, dan Dzulhijjah. Mereka ingin mengukir kehidupannya dengan amal unggulan yang dapat menghantarkan dirinya meraih syura dan ridha-Nya. Sebab momen mahal itu mempunyai nilai istimewa dalam pandangan Allah swt.

Tidak mengherankan bila dikalangan para sahabat terjadi kompetitif dalam ibadah setiap harinya. Dalam pikiran mereka, jika dia dapat menunaikan sekian kali di hari ini maka besok saya harus lebih baik darinya. Bila hari ini dia menempati peringkat pertama dalam ibadah ini maka besok saya akan menduduki peringkat tersebut. Sebagaimana Umar ibnul Khaththab r.a. ingin mengalahkan kemampuan berinfaqnya Abu Bakar As Shiddiq r.a. Namun ternyata pada esok harinya Abu Bakar melebih target yang dicanangkan Umar.

4. Peningkatan Akhlak

Akhlak merupakan identitas keimanan dan menjadi simbol dari keyakinan jiwa. Sebab akhlak adalah tampilan luar dari iman. Apa yang dilakukan oleh anggota badan ini menjadi sinyal dari keimanan yang bersemayam di lubuk yang dalam. Itu pula yang dianggap bahwa semakin sempurna keimanannya semakin baik pula tampilan akhlaknya. Seperti sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kesempurnaan iman seorang mukmin maka semakin baik akhlaknya.”

Begitu besarnya korelasi iman dan akhlak sehingga akhlak mendapatkan tempat tersendiri dalam ajaran Islam sebagai misi dakwah ini. Ini pun berkaitan dengan perkembangan waktu. Bila kita perhatikan perjalanan dakwah Islam memperjelas pernyataan tersebut. Pada awal dakwah perbuatan yang acap dilakukan masyarakat luas belum disentuh. Namun ketika dakwah ini mulai menguat segala perbuatan negatif yang dilakukan orang-orang itu dipersempit ruang geraknya meskipun perbuatan itu budaya dan tradisi mereka. Yang akhirnya mereka meninggalkannya tanpa harus dikekang.

Said ibnul Musayyab Rahimahullah mengajarkan muridnya akan penempaan akhlak pada keluarga secara bertahap. Dan tahapan yang bakal dilalui diberikan bobot yang lebih dari waktu ke waktu. Seperti nasihat Ustadz Nashih Ulwan dalam Tarbiyatul Awlad, agar pembobotan nilai dan norma yang diberikan kepada anak manusia semakin meningkat. Agar kualitas mereka dengan perilaku yang nampak semakin memberikan arti integritas bagi dirinya. Sehingga peningkatan dan pemuliaan akhlak yang dilakukan umat ini bisa mengokohkan eksistensi umat ini. Sebab hubungan antara akhlak umat dan eksistensinya juga amat erat. Seperti Allah swt. mengakui keberadaan dakwah ini melalui akhlak pengembannya. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Al-Qalam: 4)

5. Kegiatan Masyarakat

Kepedulian Islam terhadap aktivitas masyarakat sangat besar. Dari level yang tinggi hingga pada level yang rendah. Dari yang bisa dijangkau oleh akal maupun yang tidak. Doktrin yang dibangun pada jiwa umatnya ialah manusia yang paling baik adalah mereka yang bermanfaat pada banyak orang. Sehingga keberadaan antara satu dengan lainnya saling berhubungan. Malah saling mempengaruhi dan membutuhkan serta saling melengkapi. Yang menjadikan kehidupan umat manusia ini bagaikan satu bangunan kokoh yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Semua komponen masyarakat ini hidup untuk kepentingan bersama. Bentuk kebutuhan akan kesertaan yang lain dalam dinamika aktivitas masyarakat adalah saling tolong menolong sesama mereka.

Tolong menolong adalah karakter hidup umat manusia ini. Akan keringlah jiwa manusia kala ia hidup tanpa kesertaan yang lainnya. Dan sangat tidak mungkin manusia menghindari kesertaan yang lain dalam menjalani hidupnya. Diminta atau tidak keberadaan yang lain amat membantu menyelesaikan tugas hidup. Karenanya sosialisasi dalam hidup ini menjadi prinsipil. Kondisi bersosialisasi ini menjadi amat penting bagi jiwa manusia baik di kala sulit maupun mudah, di saat lapang maupun sempit. Orang bijak menyatakan apalah guna memiliki semua fasilitas hidup namun tidak ditemani seorang pun kawan.

“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (Al-Hujuraat: 10)

Perkembangan dalam aktivitas masyarakat ini sangat cepat. Sedikit terlewatkan kesempatan maka banyak yang membuat kita terputus informasi dan hubungan. Ini sebagai tanda dinamisnya kondisi masyrakat kita. Seorang teman berujar, sepekan saja kita tidak bermasyarakat maka kita perlu waktu yang cukup untuk bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Bila tidak kita bagaikan orang bisu yang tak mampu berkata-kata. Karenanya Rasulullah saw. memotivasi umatnya agar berani dan punya kemauan untuk berinteraksi dengan masyrakat. ‘Orang mukmin yang bergaul dengan masyrakat lebih baik dri pada mukmin yang tidak mau bergaul asalkan dia bersabar’. (HR. Muslim)

6. Perluasan Dakwah

Islam menjadikan setiap orang sebagai pemimpin dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan umat ini. Sehingga terwujudnya masyarakat yang nyaman dalam menjalani hidup. Dan hal ini amat dipengaruhi oleh tegaknya dakwah dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Saling menasehati atas kebenaran dan kesabaran. Dengan demikian kondisi yang rusak, amoral dan kefasikan akan lenyap.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat: 33)

Untuk merealisasikan cita-cita umat ini menegakan dakwah juga diperlukan perluasan seiring perkembangan yang terjadi. Apalagi kefasikan dan kemungkaran juga mengalami perkembangan. Perkembangan dakwah ini dalam artian yang luas. Yakni perkembangan segmentasi, bentuk dan metodelogi serta perkembangan media dan structural dakwah. Sehingga dakwah dapat bertahan dan mewariskan kemashlahatan bagi generasi seterusnya.

7. Peningkatan Produktivitas

Produktivitas merupakan sebuah upaya melanggengkan diri. Dari produktivitas ini dapat memberikan faedah bagi diri dan orang lain. Karena itu Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu bekerja dan memakan hasil jerih payahnya sendiri. Islam tidak menyetujui umatnya tidak bekerja alias nganggur. Juga tidak membenarkan tergantung pada orang lain, meminta-minta dan menyusahkan hidup orang lain.

Bekerja yang diajarkan Islam bekerja secara seimbang antara dunia dan akhirat. Agar dimensi hidup yang akan dijalani meraih kebaikan yang sesungguhnya. Sebab tidak sedikit orang yang mendapatkan kebahagian semu. Ia mendapatkan kelimpahan dunia namun miskin dan sesak jiwanya karena tidak ada upaya untuk akhiratnya. Dan bagi orang mukmin kerja dunia ini sangat mempengaruhi kondisi akhiratnya.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Al-Qashash: 77)

Ibrahim bin Adham memarahi muridnya yang mengambil sikap dari kondisi burung yang patah sayap dan kakinya dengan mengandalkan bantuan burung-burung lain. Namun beliau mengingatkan justru harusnya mengambil sikap dari burung-burung yang membantu itu. Ketika ia mencari karunia Tuhan namun ia tak pernah melupakan ada burung lain yang tak berdaya mencarinya sehingga perlu disisihkan untuknya.

8. Perkembangan Industri

Sesungguhnya kaedah mengambil semua sebab kekuatan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah kewajiban untuk mengambil semua unsur yang menguatkan perindustrian dalam semua bidang. Yang akan memberikan kebaikan kepada umat manusia dan bukan menghancurkannya atau merusaknya. Yang disebabkan salah penggunaannya. Atau produksi yang berlebihan yang menimbulkan menumpuknya limbah dan pencemaran lingkungan. Ini tentu sangat mengancam ekosistem hidup termasuk pada kehidupan umat manusia. Kehancuran alam raya karena tragedi pencemaran lingkungan.

“Sesungguhnya Kai telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Hadiid: 25)

Ayat di atas menegaskan bahwa umat ini memerlukan perkembangan industri yang dinyatakan dengan kata ‘hadid’ yang berarti besi. Ia adalah lambing industri pada masa yang lalu. Namun yang harus dicamkan adalah penggunaan besi tersebut untuk kemajuan dakwah dan kehidupan manusia. Tentu dengan maraknya perkembangan industri yang terjadi. Dengan semakin pesatnya perkembangan industri ternyata dapat membawa kemajuan sebuah peradaban. Seperti yang dialami Eropa pada masa kebangkitan industri, renaissance. Mereka bangsa Eropa berjaya di hadapan bangsa-bangsa yang lain setelah keterpurukannya.

9. Perkembangan Manajemen

Islam merupakan sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek hidup. Sistem merupakan dasar menuju kesuksesan yang berkualitas, hasil dari amal dan akhlak yang baik sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah menyukai salah seorang dari kamu yang jika bekerja ia kerjakan secara itqan (professional).” Arahan itu untuk meningkatkan taraf kinerja kaum muslimin. Agar mereka berbuat tidak asal-asalan. Melainkan dikerjakan dengan pola yang bagus. Karena profesionalisme dalam perkembangan zaman ini memberikan kemudahan dan kesuksesan.

Masalah profesionalisme dari penataan manajemen yang baik dan teratur bermula dari penciptaan makhluk-makhluk Allah swt. Semua ciptaan-Nya tidak ada yang cacat cela. Ciptaan Allah swt. nampak indah, teratur dan tertata sesuai dengan ketentuan. Bila diamati dengan seksama memang tidak dapat ditemukan sesuatu yang cela atau dengan penilaian buruk. Melalui penciptaan ini ilmu manajemen semakin berkembang. Agar manusia dapat bercermin darinya untuk menyelesaikan beragam qadhiyahnya dan menyikapinya dengan benar. Sebut saja misalnya ilmu manajemen tentang teori 6 topi. Teori ini untuk melihat sesuatu dengan 6 sudut pandang sehingga kita dapat menemukan kebaikan darinya dan yang terpenting dapat menyikapinya.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah”. (Al-Mulk: 3-4)

Pengembangan dan pertumbuhan sebagaimana istilah tanmiyah ini untuk dapat diberdayakan bagi kemashlahatan umat ini (Al Istifadah). Disamping itu juga untuk memakmurkan alam raya ini sehingga tanmiyah itu betul-betul menyemarakkannya (At Ta’mir). Dan yang utama adalah pengembangan ini untuk memimpin dunia ini sehingga perjalanan yang sedang ditempuh dunia ini perjalanan menuju keselamatan dan kesejahteraan (Al Istikhlaf).

Tentu yang perlu ditimbang-timbang adalah tanmiyah ini dalam tarbiyah yang sedang kita jalan harus mengarah pada penegakkan dakwah sehingga tidak ada lagi fitnah di muka bumi ini (Iqamatud Da’wah). Maka yang perlu diingat dai adalah bila tidak ada tanmiyah dalam diri Anda, maka yang akan Anda rasakan adalah kejumudan. Bersiaplah menyambutnya untuk segera mati dan binasa. Maukah?

sumber : dakwatuna.com

0 komentar: